Liputan6.com, Jakarta Langit masih gelap. Jam menunjukkan pukul 05:00 WIB. Peristiwa bermula di rumah Ropina Tarigan yang terletak di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Enam belas orang tinggal di gedung berlantai empat. Sepuluh di antaranya adalah anak-anak yang terdiagnosis HIV/AIDS.
Usia mereka berbeda-beda, dari 3 hingga 19 tahun. Anak-anak tersebut tinggal di kamar di lantai tiga yang telah diubah menjadi asrama. Setelah bangun, pekerjaan apa pun dimulai. Mulailah dengan berdoa, lanjutkan membersihkan rumah. Ada juga yang memandikan kakaknya yang masih kecil. Berteriak dan berebut mainan di pagi hari sudah menjadi rutinitas di rumah. Kedatangan tim Liputan6.com pagi itu memang membingungkan. Beberapa anak tersenyum. Ada juga orang yang langsung mendatangi kami dan menanyakan apa yang kami lakukan saat bertemu mereka pagi itu. Sekitar pukul 06.00 WIB, tibalah waktunya mereka meminum obat. Ada kualitas yang menarik di mata kita. Selain ditarik kembali, mereka juga memperlihatkan narkoba tersebut di CCTV rumah. Ini bukti mereka meminum obat secara teratur dan tepat waktu. “Ini bukti buat saya kalau mereka pakai narkoba. Jadi saya bisa lihat mereka meski tidak di rumah,” kata Ropina kepada Liputan6.com. Setelah mereka meminum obat, dilakukan doa bersama berdasarkan apa yang diyakini semua orang di rumah. Mereka duduk saling berhadapan. Doa dan harapan hari ini dimulai. Lalu makan bersama di satu tempat. Beberapa anak harus berangkat ke sekolah pagi itu. Ada juga yang datang pada sore hari. Sekolah mereka tidak jauh dari rumah mereka. Anak-anak di bawah usia 10 tahun sering kali dijemput dan direhabilitasi. Ngobrol bersama merupakan kegiatan setelah sarapan pagi.
Tidak ada anak yang meninggalkan rumah. Semua acara berlangsung di dalam ruangan. Ropina menawarkan buku pelajaran dan banyak permainan. Ia melarang anak-anak meninggalkan rumah sendirian.
“Pasti ada yang menemaniku, aku tidak bisa meninggalkannya sendirian. “Kalau mau berenang atau bersepeda, kita pergi bersama-sama,” ujarnya.
Ropina mengatakan semua anak yang tinggal di rumahnya terinfeksi HIV. Segala macam situasi kacau menjadi santapan keluarga ketika mereka mengadopsi anak. Selain kurus karena kekurangan gizi, mereka juga sering menderita diare parah dan terserang TBC. Ropina meyakini hal ini terjadi karena mereka tinggal di lingkungan yang tidak sehat. Ada juga orang yang mempunyai banyak masalah fisik. Misalnya, Anda belum bisa berbicara dengan lancar meski sudah masuk Sekolah Dasar (SD).
Situasi ini diyakini sebagai pelarian atas kekerasan yang dilakukan sang ibu setelah ditinggal suaminya karena didiagnosis mengidap HIV. Sedangkan pertumbuhan fisiknya terganggu, sekarang usianya sudah 8 tahun. Di sekolah dia tidak bisa mengikuti pelajaran, bahkan sudah terlambat dan ibunya kini sudah meninggal, katanya. Sejak tahun 2015, Maison Ropina telah menyediakan rumah bagi anak-anak pengidap HIV/AIDS. Selain mereka yang mengasuh di rumah warga, 140 anak asuh lainnya masih tinggal bersama saudara besarnya di wilayah Jabodetabek. Ia berharap bisa mengurangi stigma sosial terhadap mereka.
Sebab tidak semua orang terdiagnosis HIV/AIDS karena ulahnya sendiri. Kebanyakan anak tertular penyakit ini dari orang tuanya. Oleh karena itu, kami dapat menjelaskan bahwa merekalah yang menjadi korban. Selain itu, sebagian besar dari mereka adalah anak yatim piatu